Mahram, Perkara yang Diabaikan
Rabu, 29-Agustus-2007, Penulis: Al Ustadzah Ummu Ishaq
Zulfa Husein Al Atsariyyah
Perselingkuhan
dengan ipar, perzinaan dengan saudara sepupu, adalah sebagian peristiwa yang
sudah banyak terjadi di sekitar kita. Mengapa terjadi demikian? Ini tak lain
dikarenakan hukum syariat telah dilanggar dan diabaikan. Berduaan dengan
kerabat non mahram, menampakkan aurat di depannya, dsb, merupakan
perbuatan-perbuatan yang tanpa sadar sering lakukan dengan menjadikan hubungan
kekerabatan sebagai tameng.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
((لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاَثةَ أَيَّامٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ))
“Tidak boleh seorang wanita bepergian (safar) sejauh perjalanan tiga hari
kecuali bersama mahramnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1086, 1087 dan Muslim
no. 1338)
Pernah pula beliau bersabda:
(( لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ و مَعهاَ ذُوْ مَحْرَمٍ))
“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita
kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1862 dan
Muslim no. 1341)
Kata mahram yang disebutkan dalam dua sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam di atas sering kita dengar, yang oleh kebanyakan orang di negeri kita
ini disebut dengan istilah muhrim (istilah yang lebih tepat untuk menunjukkan
orang yang berihram untuk haji atau umrah). Namun demikian, meski kata ini acap
didengar, seringkali disebut, tetapi tidak dimengerti oleh sebagian besar
orang. Terbukti, dua titah Rasul yang agung di atas jauh dari pengamalan. Entah
karena tidak memahami apa itu mahram, entah karena tidak mengetahui adanya
titah yang agung ini, atau mereka tahu namun tak peduli, wallahul musta’an.
Berkaitan dengan ini, syariat yang mulia menetapkan keharaman bagi seorang wanita
untuk menampakkan perhiasannya kecuali di hadapan kerabatnya yang diistilahkan
dengan mahram ini, karena :
(( اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ ))
“Wanita itu adalah aurat.” (HR. At-Tirmidzi no. 1882. Dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Muqbil di atas syarat Muslim dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/36)
Namun, sekali lagi apa yang dikehendaki syariat agar wanita berhijab di hadapan
laki-laki selain mahramnya banyak diabaikan oleh para muslimah dan wali-wali
mereka pun tak ambil peduli.
Apakah Mahram Itu?
Mahram adalah keluarga dekat dari kalangan pria yang tidak halal baginya
menikahi si wanita, seperti anak laki-laki (wanita tersebut), ayahnya, saudara
laki-lakinya, pamannya, dan orang yang semisal mereka. (An-Nihayah fi Gharibil
Hadits wal Atsar, 1/373)
Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah membawakan definisi mahram menurut para
ulama, yakni laki-laki yang diharamkan menikahi si wanita selama-lamanya dengan
sebab yang mubah karena hubungan mahram2. (Fathul Bari, 4/94)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Mahram adalah laki-laki
yang diharamkan untuk menikahi seorang wanita (tertentu) selama-lamanya.”
(Hijabul Mar’ah Al-Muslimah wa Libasuha fish Shalat, hal. 18)
Siapakah Mahram Kita?
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Tanzil-Nya :
﴿ وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ
أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ
أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوْ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي اْلإِرْبَةِ مِنَ
الرِّجَالِ أَوْ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلاَ
يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا
إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴾.
“Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: ‘Hendaklah mereka menundukkan
pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka serta jangan menampakkan
perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya (tidak mungkin
ditutupi). Hendaklah pula mereka menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher
mereka dan jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan
suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah
mertua), atau di hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka,
atau di hadapan saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki
mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau
di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki
yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak laki-laki yang masih kecil
yang belum mengerti aurat wanita. Dan jangan pula mereka menghentakkan
kaki-kaki mereka ketika berjalan di hadapan laki-laki yang bukan mahram agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan hendaklah kalian semua
bertaubat kepada Allah, wahai kaum mukminin, semoga kalian beruntung’.”
(An-Nur: 30-31)
Dalam ayat yang mulia di atas, dinyatakan bahwa selain di hadapan suami,
dibolehkan pula bagi seorang wanita untuk menampakkan perhiasannya di hadapan
ayahnya, ayah suaminya (ayah mertua), putranya, putra suaminya, saudara
laki-lakinya, putra saudara laki-lakinya (keponakan laki-laki), atau putra
saudara perempuannya. Mereka yang disebutkan ini adalah mahram bagi si wanita.
(Tafsir Ibnu Katsir, 3/295)
Bila dirinci, mahram-mahram yang tersebut dalam ayat di atas adalah sebagai
berikut:
1. Ayah, ayahnya ayah/ibu (kakek), kakek buyut (datuk), dan seterusnya ke atas.
2. Ayahnya suami (mertua), kakek suami baik dari pihak ayah ataupun pihak ibu
dan terus ke atas.
3. Anak laki-laki, cucu laki-laki baik dari anak laki-laki maupun anak
perempuan, cicit laki-laki dan terus ke bawah.
4. Anak laki-laki suami, cucu laki-laki suami baik dari anak laki-lakinya
maupun dari anak perempuannya, dan terus ke bawah.
5. Saudara laki-laki, baik sekandung, ataupun seayah atau seibu.
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki (keponakan laki-laki), anak laki-laki
dari keponakan laki-laki (cucu) dan terus ke bawah.
7. Anak laki-laki dari saudara perempuan (keponakan), anak laki-laki dari
keponakan tersebut (cucu) dan terus ke bawah. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an,
12/154)
Dengan perincian di atas berarti:
- Seorang ayah adalah mahram bagi putrinya, seorang kakek adalah mahram bagi
cucu perempuannya, dst.
- Ayah mertua adalah mahram bagi istri anak laki-lakinya (menantunya), kakek
mertua adalah mahram bagi istri cucu laki-lakinya, dst.
- Anak laki-laki adalah mahram bagi ibunya, cucu laki-laki adalah mahram bagi
neneknya, dst.
- Anak laki-laki suami adalah mahram bagi ibu tirinya3, cucu laki-laki suami
adalah mahram bagi nenek tirinya, dst.
- Saudara laki-laki adalah mahram bagi saudara perempuannya, baik yang
sekandung, seayah saja ataupun seibu saja.
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki (keponakan) adalah mahram bagi
‘ammah-nya (bibi/saudara perempuan ayah), anak laki-laki dari keponakan
laki-laki (cucu keponakan) adalah mahram bagi saudara perempuan kakeknya, dst.
- Anak laki-laki dari saudara perempuan (keponakan) adalah mahram bagi
khalah-nya (bibi/saudara perempuan ibu), anak laki-laki dari keponakan tersebut
(cucu) mahram bagi saudara perempuan neneknya, dst.
Mahram lainnya adalah:
• ‘Ammi (paman/saudara laki-laki ayah) dan khal (paman/saudara laki-laki ibu)
merupakan mahram bagi keponakan perempuannya, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
﴿ولا تنكحوا ما نكح آباؤكم من النساء إلا ما قد سلف, إنه كان فاحشة و مقتا و سآء سبيلا.
حرمت عليكم أمهاتكم و بناتكم و أخواتكم و عماتكم و خالاتكم و بنات الأخ و بنات الأخت
و أمهاتكم اللاتي أرضعنكم و أخواتكم من الرضاعة و أمهات نسائكم و ربائبكم اللاتي في
حجوركم من نسائكم اللاتي دخلتم بهن فإن لم تكونوا دخلتم بهن فلا جناح عليكم و حلائل
أبنائكم الذين من أصلابكم و أن تجمعوا بين الأختين إلا ما قد سلف. إن الله كان غفورا
رحيما﴾.
“Janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah
kalian (ibu tiri) kecuali pada masa yang telah lampau (sebelum datangnya
larangan ini) karena sesungguhnya perbuatan menikahi ibu tiri itu amatlah keji,
dibenci, dan sejelek-jelek jalan yang ditempuh. Diharamkan atas kalian menikahi
ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah
kalian (bibi/saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/saudara perempuan
ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan),
putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara
perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian
yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri,
tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan
kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi
kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu), dan menghimpunkan
dua wanita yang bersaudara dalam pernikahan, kecuali apa yang telah terjadi di
masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa:
22-23)
Dalam ayat di atas, Allah mengharamkan seorang paman untuk menikahi keponakan
perempuannya, sama saja baik keponakannya itu putri dari saudara
laki-laki-lakinya ataupun saudara perempuannya. Ini menunjukkan bahwa paman
termasuk mahram, yang menurut pendapat jumhur ulama, paman disamakan dengan
mahram lain dalam kebolehan memandang perhiasan yang dikenakan seorang wanita
sebatas yang dibolehkan bagi mahram lainnya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an,
12/155)
Yang menguatkan hal ini adalah hadits Aflah, paman ‘Aisyah radhiallahu 'anha
karena susuan. ‘Aisyah radhiallahu 'anha mengabarkan:
أَنَّ أَفْلَحَ أَخَا أَبِي الْقُعَيْس جَاءَ يَسْتَأْذِنُ عَليهَا وَ هُوَ عَمُّهَا
مِنَ الرَّضَاعَةِ بَعْدَ أَنْ نَزَلَ الْحِجَابِ , فَأَبَيْتُ أَنْ آذِنَ لَهُ فَلَمَّا
جَاءَ رَسُولُ اللهِ صلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي صَنَعْتُ,
فَأَمَرَنِي أَنْ آذِنَ لَهُ.
Aflah, saudara Abul Qu’ais4 pernah datang meminta izin untuk bertemu dengannya
setelah turunnya perintah berhijab. Dan Aflah ini adalah paman ‘Aisyah karena
susuan. ‘Aisyah berkata: ‘Aku pun menolak untuk mengizinkannya. Ketika datang
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , aku ceritakan kepada beliau tentang
apa yang kuperbuat, maka beliau memerintahkan aku untuk mengizinkan Aflah’.”
(Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5103 dan Muslim no. 1445)
Dalam riwayat Muslim, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
((لاَ تَحْتَجِبِي مِنْهُ, فَإِتَّهُ يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ
النَّسَبِ))
“Janganlah engkau berhijab darinya, karena menjadi haram dengan sebab penyusuan
apa yang haram karena hubungan nasab.” (Shahih, HR. Muslim no. 1445)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini menunjukkan
wajibnya wanita berhijab dari laki-laki ajnabi (non mahram) dan disyariatkan
bagi mahram untuk minta izin ketika masuk menemui wanita yang merupakan
mahramnya.” (Fathul Bari, 9/184)
Dalam surat An-Nisa di atas, dapat kita pahami bahwa wanita-wanita yang haram
dinikahi karena hubungan mahram selain ibu, anak perempuan, saudara perempuan,
‘ammah (bibi/saudara ayah), khalah (bibi/saudara ibu) dan keponakan perempuan
(putri dari saudara laki-laki/perempuan), termasuk pula ibu susu, saudara
perempuan sepersusuan, ibu mertua, putri tiri (anak perempuan dari istri yang telah
dicampuri) dan menantu perempuan (istri dari anak kandung). Mengenai ibu susu
dan saudara sepersusuan akan dibicarakan dalam pembahasan tersendiri. Sedangkan
mengenai ibu mertua, putri istri, dan menantu perempuan sebagai berikut:
• Ibu mertua dengan suami putrinya (menantu) memiliki hubungan mahram hingga
ibu mertua ini haram dinikahi oleh menantu tersebut selama-lamanya dengan
semata-mata dilangsungkannya akad antara si menantu dengan putri ibu tersebut5,
menurut pendapat jumhur ulama, sama saja apakah setelah itu istrinya ia gauli
ataupun belum. Sehingga seorang lelaki bila bercerai dengan istrinya walaupun
istri tersebut belum sempat ia gauli, ibu mertuanya tetap sebagai mahramnya,
haram untuk dinikahinya. Diriwayatkan pendapat ini dari Ibnu Mas‘ud, ‘Imran bin
Hushain, Masruq, Thawus, ‘Ikrimah, ‘Atha, Al-Hasan, Mak-hul, Ibnu Sirin,
Qatadah dan Az-Zuhri. Dan ini merupakan pendapat imam yang empat dan fuqaha
yang tujuh serta jumhur fuqaha yang dulu maupun yang belakangan. (Tafsir Ibnu
Katsir, 1/482)
• Anak perempuan istri dari suami yang lain (anak tiri). Ia tidaklah haram
untuk dinikahi oleh ayah tirinya hingga ayah tirinya itu telah bercampur (jima)
dengan ibunya. Dengan demikian bila ayah tiri itu menceraikan ibunya sebelum
bercampur (jima’) maka boleh baginya menikahi putri bekas istrinya. (Tafsir
Ibnu Katsir, 1/481, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 5/70)
• Istri dari anak laki-laki (menantu) dan ayah si anak laki-laki (mertua)
memiliki hubungan mahram sehingga haram terjalin pernikahan antara keduanya, namun
dengan ketentuan menantu itu adalah istri dari anak laki-laki kandung. Adapun
bila anak tersebut adalah anak angkat maka istrinya tidaklah haram dinikahi
oleh ayah angkat suaminya. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
﴿وَ مَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ﴾
“Dan Dia tidaklah menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung
kalian.” (Al-Ahzab: 4)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
﴿و حلائل أبنائكم الذين من أصلابكم﴾
Yakni Allah mengharamkan kalian menikahi istri-istri dari anak-anak laki-laki
kalian yang dilahirkan dari sulbi kalian (anak kandung), sehingga dikecualikan
dari larangan ini istri dari anak angkat yang dulunya di masa jahiliyyah mereka
anggap sebagai anak, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
﴿فلما قضى زيد منها وطرا زوجناكها لكيلا يكون على المؤمنين حرج في أزواج أدعيائهم إذا
قضوا منهن وطرا﴾
“Maka tatkala Zaid6 telah menyelesaikan urusannya dengan istrinya (menceraikan
Zainab bintu Jahsyin, istrinya), Kami nikahkan engkau dengan Zainab agar tidak
ada keberatan bagi orang-orang beriman untuk menikahi istri-istri anak-anak
angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya
dari istri-istrinya tersebut (menceraikan istri-istri tersebut).” (Al-Ahzab:
37) [Tafsir Ibnu Katsir, 1/483)]
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(bersambung)
2 Dengan definisi ini, seorang suami bukanlah mahram bagi saudara perempuan
istrinya (ipar), walaupun suami tersebut haram menikahi iparnya selama ia belum
bercerai dengan istrinya. Adapun yang diharamkan selama-lamanya dalam syariat
hanyalah mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam pernikahan. Sedangkan
keharaman menikahi ipar tidaklah berlaku selama-lamanya. Bila si suami telah
berpisah dengan istrinya (cerai atau ditinggal mati) dibolehkan baginya untuk
menikahi iparnya tersebut.
Disebutkan dalam definisi di atas bahwa mahram itu terjalin dengan sebab yang
mubah yaitu dengan pernikahan ataupun penyusuan. Dikecualikan dari definisi di
atas, bekas istri yang pernah dituduh berzina oleh suaminya tanpa bukti/ saksi
hingga keduanya harus mendatangkan sumpah dan mendoakan laknat untuk diri
masing-masing. Bekas istri tersebut haram untuk dinikahinya selama-lamanya
namun bukan karena hubungan mahram, tapi sebagai hukuman bagi keduanya. (Kitab
Al-Fatawa, Al-Imam Nawawi, masalah 223)
Catatan: Jika seorang suami menuduh istrinya berzina dengan laki-laki lain,
imam (pimpinan/penguasa negeri) memanggil keduanya dan meminta bukti dari
tuduhan tersebut. Bila si suami tidak bisa mendatangkan bukti dan saksi mata,
maka ia memberikan persaksian dengan sumpah: “Demi Allah, sungguh aku termasuk
orang-orang yang benar”. Ia ucapkan sumpah ini sebanyak 4 kali dan pada kali
yang kelima ia berkata: “Laknat Allah atasku jika aku termasuk orang-orang yang
berdusta.” Si istri yang tertuduh (bila ia tidak menerima tuduhan tersebut/ia
memungkirinya) juga mengucapkan sumpah sebanyak empat kali: “Demi
Allah,sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang berdusta.” Pada kali yang
kelima ia berkata: “Kemurkaan Allah akan menimpaku jika ia termasuk orang-orang
yang benar (dalam tuduhannya)”. Setelah itu keduanya dipisah dan tidak halal
untuk bersatu kembali dalam pernikahan selama-lamanya (lihat Al-Muhalla,
9/331). Inilah yang diistilahkan dengan li’an, dan hukumnya disebutkan dalam Al
Qur’an, Surat An-Nur: 6-9.
3 Dengan demikian diharamkan bagi anak tiri menikahi ibu tirinya sepeninggal
ayahnya ataupun ketika ayahnya masih hidup karena Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman: “Janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh
ayah-ayah kalian (ibu tiri) kecuali pada masa yang telah lampau (sebelum
datangnya larangan ini) karena sesungguhnya perbuatan menikahi ibu tiri itu
amatlah keji, dibenci dan sejelek-jelek jalan yang ditempuh.” (An-Nisa: 22)
4 Abul Qu’ais ini adalah suami ibu susu ‘Aisyah radhiallahu 'anha
5 Dalam masalah ini memang ada perselisihan pendapat di kalangan ulama. Selain
pendapat di atas, ada pula ulama yang berpendapat bahwa ibu mertua tidaklah
haram dinikahi kecuali bila si menantu telah bercampur (jima’) dengan putrinya
(istri) sehingga jima’ menjadi syarat dalam keharaman tersebut. Pendapat
seperti ini diriwayatkan dari ‘Ali, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair,
Mujahid dan Sa’id bin Jubair. Namun yang benar, kata Ibnul Mundzir, jima’
bukanlah syarat. Wallahu a’lam.
6 Zaid bin Haritsah radhiallahu 'anhu dulunya merupakan anak angkat Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga sempat dipanggil dengan Zaid bin Muhammad
sampai akhirnya Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat:
﴿وَ مَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذلكم قولكم بأفواهكم و الله يقول الحق
و هو يهدي السبيل. ادعوهم لأبآئهم هو أقسط عند الله . فإن لم تعلموا أبآءهم فإخوانكم
في الدين و مواليكم﴾
“Dan Dia tidaklah menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung
kalian. Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut kalian saja. Dan
Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar.
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak
mereka. Itulah yang lebih adil di sisi Allah. Dan jika kalian tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, maka panggillah mereka sebagai saudara-saudara kalian
seagama dan maula-maula kalian.” (Al-Ahzab: 4-5) [Ahkamul Qur’an, Ibnul ‘Arabi,
1/487]
Adakah Mahram Sementara?
Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Ada
seorang wanita tinggal bersama saudara perempuannya yang telah menikah, dan ia
tidak berhijab dari iparnya. Bila ditegur karena perbuatannya itu, ia menjawab
bahwa iparnya adalah mahram sementara baginya. Karena selama saudara
perempuannya masih berstatus sebagai istri dari iparnya, maka tidak boleh iparnya
menikahinya. Bagaimana tanggapan Syaikh terhadap hal ini?
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjawab: “Wanita ini memiliki syubhat
(kerancuan) yaitu tidak boleh bagi iparnya untuk menikahinya selama saudara
perempuannya masih berstatus sebagai istri dari iparnya tersebut. Dengan
demikian, ia (menurut pemahaman wanita itu) merupakan mahram bagi iparnya
sampai waktu tertentu. Akan tetapi pemahaman wanita ini salah karena wanita
yang haram dinikahi oleh seorang lelaki hanya dalam batas waktu/ keadaan tertentu,
bukanlah mahram bagi lelaki tersebut.
Pengertian mahram itu sendiri adalah wanita-wanita yang haram dinikahi seorang
lelaki selama-lamanya karena hubungan nasab atau karena sebab yang mubah
seperti kekerabatan yang terjalin lewat hubungan pernikahan dan lewat
penyusuan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman menyebutkan wanita-wanita yang haram
dinikahi oleh seorang laki-laki:
﴿ولا تنكحوا ما نكح آباؤكم من النساء إلا ما قد سلف, إنه كان فاحشة و مقتا و سآء سبيلا.
حرمت عليكم أمهاتكم و بناتكم و أخواتكم و عماتكم و خالاتكم و بنات الأخ و بنات الأخت
و أمهاتكم اللاتي أرضعنكم و أخواتكم من الرضاعة و أمهات نسائكم و ربائبكم اللاتي في
حجوركم من نسائكم اللاتي دخلتم بهن. فإن لم تكونوا دخلتم بهن فلا جناح عليكم و حلائل
أبنائكم الذين من أصلابكم و أن تجمعوا بين الأختين إلا ما قد سلف. إن الله كان غفورا
رحيما﴾.
“Janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah
kalian (ibu tiri) kecuali pada masa yang telah lampau (sebelum datangnya
larangan ini) karena sesungguhnya perbuatan menikahi ibu tiri itu amatlah keji,
dibenci dan sejelek-jelek jalan yang ditempuh. Diharamkan atas kalian menikahi
ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah
kalian (bibi/saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan
ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan),
putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara
perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian
yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri,
tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan
kalian), maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi
kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu) dan menghimpunkan
dalam pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di
masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa:
22-23)
Dalam ayat di atas, Allah mengharamkan seorang laki-laki mengumpulkan dua wanita
yang bersaudara sebagai istri. Dan Allah tidak mengatakan bahwa yang diharamkan
adalah menikahi saudara-saudara perempuan istri (ipar), sehingga saudara
perempuan istri tidaklah haram selama-lamanya bagi lelaki tersebut. (Diringkas
dari Fatawa Al-Haram, 1408 H, hal. 288-292)